Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce.
Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan
Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedih/Pedas
(Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan
emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain
dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis,
bermakna “malu”. Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak
tega” atau “kasihan” atau “iba”. Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau
Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2)
Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’),
dan (4) Siri’ Mate Siri’.
Kemudian,
guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse
menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang
dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.
Budaya
Siri' Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat
Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri' na pacce tidak
dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku
binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian
sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa
nafsunya. Istilah siri' na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat
abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena siri' na pacce hanya bisa
dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat Bugis-Makassar,
siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan,
hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan
mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang
terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, siri' adalah
sesuatu yang 'tabu' bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi
dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan
kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil
adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar mampu bertahan
dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan
perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah
dalam bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"
Layaknya
sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini senantiasa
akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis
Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan
berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap
penafsiran tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya akan berdampak kepada
kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah
yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak pihak termasuk penulis
sendiri, sehingga harus diluruskan agar kedepannya nilai falsafah ini
tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta ciri khas masyarakat
Bugis-Makassar.
Dasar
falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat
Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri
orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani
kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus
memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian
hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai
masyarakat Bugis-Makassar memiliki orientasi yang mampu menghadapi
apapun.
Hakekat
prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat Bugis-Makassar yang
tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” (dua bagian
yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan).
Nilai
siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural yang memberikan
implikasi terhadap segenap tingkah laku yang nyata. Tingkah laku itu
dapat diamati sebagai pernyataan ataupun perwujudan kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar.
Apabila
kita mengamati pernyataan nilai siri’ ini atau lebih konkritnya
mengamati kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan atau tingkah
laku yang katanya dimotivasi oleh siri’, maka akan timbul kesan bahwa
nilai siri’ itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan
sentimental atau sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak kepada
melihat kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran siri’, misalnya:
malu-malu, aib, iri hati, kehormatan dan harga diri, dan kesusilaan.
Cara pandang seperti ini jelas merupakan sebuah cara pandang yang kurang
lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut konfigurasi
kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang bukan hanya
sebuah nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah nilai/falsafah
hidup manusia.
Kemudian,
hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap
tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Sebagai
seorang masyarakat Sulawesi Selatan, penulis melihat, disintegrasi
semacam ini sudah lama terjadi. Bagaimana rasa malu yang tidak
ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa amarah ketimbang
sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika berkaca pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini, mulai dari demonstrasi
yang selalu berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada perilaku
bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik. Distintegrasi seperti
inilah yang kemudian berpotensi melahirkan ketidakstabilan dalam
kehidupan sosial bermasyarakat di masa yang akan datang.
Apabila
kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap permasalahannya, antara
lain dapat diketahui dari lontara’ La Toa. Dimana dalam lontara ini
berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakn kumpulan petuah
untuk dijadikan sebagai suri tauladan. Kata La Toa sendiri sejatinya
memiliki arti petuah-petuah, dimana juga memiliki hubungan yang erat
dengan peranan siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat masyarakat
Bugis-Makassar. Misalnya dapat dilihat pada beberapa point dalam
lontara’ tersebut: Siri’ sebagai harga diri ataupun kehormatan,
Mapappakasiri’ artinya menodai kehormatannya, Ritaroang Siri’ yang
artinya ditegakkan kehormatannya, Passampo Siri’ yang artinya penutup
malu, Siri’ sebagai perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan hidup.
Kata
siri’ dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah
dan sebuah prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar. Ungkapan-ungkapan
seperti : siri’ na ranreng (siri’ dipertaruhkan demi kehormatan),
palaloi siri’nu (tegakkan siri’mu), tau de’ siri’na (orang tak memiliki
malu tak memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan falsafah hidup
masyarakat Bugis-Makassar.
Dari
aspek ontologi (wujud) budaya siri' na pacce mempunyai hubungan yang
sangat kuat dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana
kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh.
Inti budaya siri' na pacce mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar, karena siri' na pacce merupakan jati diri dari
orang-orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideologi siri' na
pacce maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih
kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri'
na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar),
tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi
seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja
yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam
berinteraksi dengan sesama.
Ungkapan
sikap masyarakat Bugis-Makassar yang termanifestasikan lewat kata-kata
taro ada’ taro gau (satu kata satu perbuatan), merupakan tekad atau
cita-cita dan janji yang telah diucapkan pastilah dipenuhi dan
dibuktikan dalam perbuatan nyata. Hal tersebut juga sejalan dengan
prinsip-prinsip abattireng ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa di
junjung tinggi, semuanya ku abadikan demi keagungan leluhurku).
Berdasarkan jenisnya siri' terbagi yaitu:
Siri' Nipakasiri'
Adalah
Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau
harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu
dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Sebagai
contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin lari).
Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh,
terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari)karena
telah membuat malu keluarga.
Contoh
lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan
dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya
(Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh
atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus
dibalas dengan nyawa.
Dalam
keyakinan orang Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena
menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut
sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa
kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan,
itulah sejatinya Kesatria.
Tentang
ini hal ini, oleh Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman
penjajahan dahulu tidak bisa mengerti mengapa orang Bugis/Makassar
begitu bangga dan secara kesatria mengakui di depan persidangan pidana
bahwa dia telah melakukan pembunuhan berencana, meski diketahuinya bahwa
ancaman pidananya sangat berat jika dibandingkan dengan pembunuhan
biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan sebagaimana diatur dalam pasal
338 KUHP). Secara logika, memang orang lain tidak dapat mengerti hal
tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan makna Siri’ yang
sesungguhnya.
Agar
dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Siri’ untuk kategori
Siri’ Ripakasiri’, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji nanimmantang
attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami
angga’na olo-oloka. Artinya, hanya karena Siri’ kita masih tetap hidup
(eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti
layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.
Siri’ Mappakasiri’siri’
Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis)
Artinya
rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya,
ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya
maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati
janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan
(disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si
berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah
mempermalukan dirinya sendiri.
Orang
Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’,
ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan
datang sendiri untuk membayarnya.
Hal
yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta hubungannya dengan
etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan
orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Dengan
dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang
Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku
kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka
(bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan
melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan
(pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar
terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau
harapan.
Selain
itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat
istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia
dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah
satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’
siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo
sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya,
ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau
musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang
cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga
yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
Siri' Masiri'
Siri'
masiri' yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan,
meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya
demi siri' itu sendiri. Seperti sebuah penggalan syair sinrili'
"Takunjunga' bangung turu'.. Nakugunciri' gulingku.. Kuallengi Tallanga
Natoalia" yang berarti "Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah
kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut". Semboyan
tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad
dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini.
Siri’ Mate Siri’
Siri’
yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang
Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam
dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini
diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut
sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa
hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma
busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di
Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa
menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia
anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa
mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi min-dzalik.
Berikut sebuah prinsip siri' (malu) yang dipegang orang Bugis/Makassar.
Manna cera'ja kulimbang
Buku kutete
Anta'le tonja
Ka sirikku natapela
Artinya:
Biar darah kuseberangi
Tulang kujembatangi
Aku tetap menyebrang
Karena malu (imanku) yang akan hilang.
Takunjunga bangun turu
Nakugunciri gulingku
Kualeanna tallanga natoalia
Artinya:
Sekali berlayar pantang surut biduk kepantai
Takunjunga bangun turu
Nakugunciri gulingku
Kualeanna tallanga natoalia
Artinya:
Sekali berlayar pantang surut biduk kepantai
Pacce (Makassar) (Bugis: Pesse)
Pacce
atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh
masyarakat Bugis/Makassar. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya
Siri’ (malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya
(membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’)
tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu
saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita
dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak
tega melihat anaknya menderita.
Punna
tena siri’nu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah karena si anak
telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat anakmu
menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu
(Paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.
Pacce’
dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya
pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin,
berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan
(pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dpaat
merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang
Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar
dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan
pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam
pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ penggerak dalam memanifestasikan
pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya siri' na pacce terbagi atas 3 yaitu:
Nilai Filosofis.
Nilai
Filosofis siri' na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup
orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan
yang meliputi watak orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis,
konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.
Nilai Etis.
Pada
nilai-nilai etis siri' na pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi:
teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan,
cinta dan empati.
Nilai Estetis
Nilai
estetis dari siri' na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani
yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda
alam hewani, Kemudian,
satu hal yang perlu diperhatikan disini yakni manakala harga diri
masyarakat Bugis-Makassar tersebut ternodai, yang karenanya melahirkan
aspek-aspek siri’, maka semestinya bagi yang terkena siri’ tersebut
untuk melakukan upaya penghapusan noda (siri’) tersebut. Hal tersebut
dapat berupa upaya musyawarah atau membicarakan duduk persoalannya atau
jika sudah melewati batas kemanusiaan dan ketentuan yang ada, barulah
dilakukan upaya dengan bentuk kekuatan (baik secara hukum maupun
perorangan), tergantung nilai siri’ yang timbul dari permasalahan yang
ada. Sehingga bagi pihak yang terkena siri’ kemudian bersikap bungkam
tanpa ada upaya sama sekali, maka akan dijuluki sebagai orang yang tak
punya rasa malu (tau tena siri’na).
Dengan
demikian, dapatlah dikatakan betapa besar pengaruh nilai-nilai siri’
ini bagi sikap hidup masyarakat Bugis-Makassar dan masyarakat Sulawesi
Selatan secara umum. Sehingga nilai siri’ ini bagi masyarakat
Bugis-Makassar, sebagaimana yang telah diuraikan diatas adalah sebuah
falsafah hidup, dimana secara garis besar dapat ditarik sebuah benang
merah berdasarkan analisa-analisa diatas, bahwa sesungguhnya peranan
siri’ yang merupakan alam bawah sadar masyarakat Bugis-Makassar ini
merupakan nilai falsafah dan sikap yang menjadi perwujudan dari manusia
Bugis-Makassar.
Budaya
siri' na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini,
untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan sosok-sosok
muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah
calon pemimpin dan pemiliki bangsa ini. Mereka harus memiliki siri' na
pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya siri' na pacce anak pemuda
bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan yang
sedang melanda bangsa ini.
Nilai
adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan
dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi landasan
atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat
dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis
mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na
pacce’.
Siri’
na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai
falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam
aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan
pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi
masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Siri’
yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat
Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce (
Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata
yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam
mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga
apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak
ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang
Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (
seperti binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo ( karena malu
kita hidup ).
Seorang
pemimpin yang memiliki budaya siri' na pacce dalam dirinya akan menjadi
seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap
bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini
akan membawa bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka
memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu mendengarkan
aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin karena itu sejalan
dengan konsep negara kita yaitu Demokrasi.
Sumber : disadur dari tulisan :
Abdi eL_Machete : "SIRI’ SEBAGAI SIKAP DAN FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR " (akademia edu)
Muh. Abdi Goncing : "SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR Dalam Perspektif Filsafat Sejarah" (akademia edu)
http://fairuzelsaid.wordpress.com/2011/06/27/siri-na-pacce/
http://imbasadi.wordpress.com/agenda/data-karya-ilmiah-bebas/unhas/makna-siri-na-pacce-dimasyarakat-bugis-makassar-friskawini/
http://imbasadi.wordpress.com/agenda/data-karya-ilmiah-bebas/unhas/makna-siri-na-pacce-dimasyarakat-bugis-makassar-friskawini/
http://bugismakassartrip.blogspot.co.id/2014/05/siri-na-pacce-dalam-nilai-dan-falsafah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar